Mentari perlahan turun ke peraduannya. Langit berwarna jingga keemasan, menandai pertemuan siang dan malam. Di tepi pantai yang sepi, seorang pria tua berdiri memandangi ombak yang berkejaran, seakan mencari sesuatu yang telah lama hilang.
Namanya Rahmat. Dulu, ia seorang pengusaha sukses, pemilik berbagai perusahaan besar di kota. Kekayaan mengelilinginya, namun hatinya kosong. Ia pernah punya keluarga istri yang setia dan seorang anak laki-laki yang cerdas tapi kesibukannya mengabaikan mereka. Ambisinya membuatnya lupa akan kehangatan rumah. Hingga suatu hari, kecelakaan tragis merenggut nyawa istri dan anaknya. Sejak saat itu, dunianya runtuh. Harta yang melimpah tak mampu mengisi kehampaan yang menggerogoti jiwanya.
Rahmat memilih meninggalkan hiruk-pikuk kota dan menetap di desa nelayan, jauh dari ingar-bingar kehidupan yang dulu ia kejar. Bertahun-tahun ia mencari arti hidup yang sebenarnya. Hingga suatu hari, di pantai itu, ia bertemu dengan seorang anak kecil bernama Juna.
Juna seorang anak yatim yang tinggal bersama neneknya. Meskipun hidup serba kekurangan, senyumnya selalu merekah. Ia sering membantu para nelayan, mengambil ikan dari jala, atau sekadar mengumpulkan kerang untuk dijual. Rahmat memperhatikan bagaimana bocah itu selalu bersyukur dengan apa pun yang ia miliki.
Suatu sore, saat Rahmat duduk di batu besar, Juna datang dengan seember kecil ikan hasil tangkapannya. “Pak Tua, kenapa Bapak selalu terlihat sedih?” tanyanya polos.
Rahmat tersenyum tipis. “Aku kehilangan sesuatu yang berharga, Nak. Dan aku tak tahu bagaimana menemukannya kembali.”
Juna mengerutkan dahi. “Kalau kehilangan, kenapa tidak mencari yang baru?”
Rahmat terdiam. Kata-kata bocah itu sederhana, tapi menghunjam dalam. Ia selalu terjebak dalam penyesalan, tak pernah berpikir untuk membuka lembaran baru.
Sejak hari itu, Rahmat mulai berubah. Ia membantu para nelayan, mengajarkan mereka cara mengelola hasil laut dengan lebih baik. Ia membangun sekolah kecil untuk anak-anak nelayan agar mereka bisa belajar membaca dan menulis. Lambat laun, kesedihannya mulai tergantikan dengan kebahagiaan yang tak bisa dibeli dengan uang kebahagiaan karena memberi.
Senja itu, Rahmat kembali menatap laut, namun kali ini dengan perasaan berbeda. Ia sadar, arti hidup bukanlah seberapa banyak yang kita kumpulkan, melainkan seberapa banyak yang kita berikan.
Di ujung senja, jejak langkahnya tak lagi dipenuhi kesedihan. Ia telah menemukan makna hidupnya kembali dalam senyum anak-anak, dalam gelak tawa para nelayan, dan dalam hati yang telah berdamai dengan masa lalu.
