“Di zaman ini, yang palsu disembah. Yang asli dimuseumkan. Yang jujur dikutuk. Yang viral dianggap suci.” Buku ini bukan nasihat. Bukan tuntunan. Apalagi pedoman hidup. Ini catatan nyinyir tentang dunia yang rusak tapi merasa tercerahkan, tentang peradaban yang memuja cahaya dari layar, tapi lupa bahwa jiwa mereka tak pernah benar-benar bangun.
“Peradaban Palsu” menertawakan kita semua yang menjadikan spiritualitas sebagai konten, doa sebagai sinematik, guru sebagai influencer, dan hening sebagai filter aesthetic. Retret batin berubah jadi piknik glamping. Dzikir berubah jadi hashtag. Tuhan? Masih disebut, tapi lebih sering dijadikan caption.
Lewat bab-bab pendek dan menyengat, buku ini membongkar:
Ini bukan buku untuk dibaca. Ini buku untuk membuatmu malu. Jika setelah membaca ini kamu tidak ingin membakar egomu sendiri, berarti kamu sedang membaca sambil membuat konten review.